Tantangan Pendidikan
Komitmen bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals
(MDGs) salah satunya adalah tercapainya wajib belajar Sembilan tahun.
Tanpa terkecuali, anak usia 7-15 tahun berhak sekolah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Menjelang berakhirnya tahun 2015,
pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui komitmen mereka. Terlihat
dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan diperpanjang
menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bekal menghalangi capaian komitmen
baru tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama
tulisan ini.
Pendidikan Layanan Khusus
Sebagai negara kepulauan, Indonesia
memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter wilayah. Capaian
pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad
ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel,
dan anak korban bencana alam.
Kalkulasi penulis menghasilkan
perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk dewasa memerlukan
waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini, Indonesia
tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling
tinggi capaian pendidikan masyarakatnya.
Katakan negara-negara Skandinavia,
seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia rata-rata pendidikan penduduknya
mencapai 17 tahun. Untuk lokasi yang mudah diakses pendidikannya,
persoalan akses pendidikan tidaklah rumit. Apalagi, banyaknya skim
kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anakanak keluarga miskin
yang haknya dijamin oleh negara.
Program beasiswa misalnya telah
berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk kelompok miskin.
Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh dari tempat
tinggal anak usia sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius tertentu
tidak selalu diikuti dengan tercapainya pemerataan kesempatan
pendidikan.
Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan
tersulit adalah daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan,
pulau-pulau kecil, daerah perkebunan rakyat, kawasan penduduk dalam
hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.
Kelompok anak-anak ini rentan putus
sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan pendidikan ke jenjang
menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil. Selain anak-anak
tinggal pada daerah yang tersulit, banyak jugadi antara mereka yang
belum beruntung secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat kemiskinan,
persoalan anak yang ditinggal orang tua menjadi TKI, anak-anak jalanan,
anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.
Belum terhitung di antara anakanak
yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana alam, berupa gempa
bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya. Kisah
korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat
anak-anak di pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya.
Mereka menghadapi ketidakpastian tentang pendidikannya.
Kisah bagaimana anakanak yang harus
berjuang untuk menyeberangi jembatan gantung di pesisir selatan Sumatera
Barat, menyabung nyawa meniti jembatan yang bergoyang-goyang demi
menuju sekolah. Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan
guru dan sekolah dengan cara konvensional tidak selalu mampu memecahkan
persoalan capaian pemerataan pendidikan.
Buktinya, hingga kini capaian akses
untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok anak usia 13-15 tahun
baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara kabupaten yang
masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang SMP
masih di bawah 75%.
Rata-rata capaian pendidikan di
Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan tidak akan lebih
dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun agresi
Belanda ke dua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar
menjadi 12 tahun, persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang
“marginal” atau mereka tinggal di daerah yang mengalami bencana alam.
Data Susenas 2012, misalnya,
memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika masa
transisi dari jenjang pendidikan SMP kejenjang pendidikan SMA. Bahkan,
angka putus sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana
orang tuanya paling miskin. Data yang sama juga menunjukkan hanya 2%
dari anak-anak keluarga termiskin yang sampai jenjang perguruan tinggi.
Pendidikan khusus (PK) untuk anak
difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak “marginal” dan
kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau anak-anak yang
sulit untuk dijangkau “reach unreachable”.
Pengalaman dua tahun penyelenggaraan
pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo di Wakatobi,
Sulawesi Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman,
Sumatera Barat menghasilkan dampak yang besar terhadap kembalinya mereka
untuk sekolah lagi.
Penyediaan seragam sekolah dan sepatu,
disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah berdampak terhadap
ketertarikan anak-anak kembali kesekolah. Instrumen makanan tambahan di
sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar membebani
APBN.
Dampak daya tariknya besar dalam
mengembalikan anak ke sekolah. Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan hanya
untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah, namun sebaiknya juga
mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anakanak yang masuk
kategori 40% termiskin.
Pemerataan Mutu
Tantangan kedua adalah mendongkrak
mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu kognitif, psikomotorik,
sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat
anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka.
Ejekan terhadap anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika,
Sains Dasar, dan Kemampuan Membaca mereka jauh dari yang diharapkan.
Anehnya, pergantian kurikulum
sekalipun tidak banyak mengubah ukuran mutu yang digunakan. Bukan tidak
mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat sering
anakanak kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya
dihitung dengan jari.
Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu
saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif dan bermutu,
dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta
sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia
secara random, mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus
di sekolah favorit dengan sistem rekrutmen yang dibangun.
Terlepas itu semua, maka perhatian
tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu. Dampak
sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya
terhadap peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat
diperlukan, di antaranya peningkatan kualifikasi pendidikan guru,
pengembangan metodologi pedagogi, dan memperbarui kembali komitmen dan
integritas para pendidik.
Mereka pada umumnya ibarat baterai yang
sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga yang kompeten mesti
bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training for trainer
yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses
penguatan institusi pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian
iktikad guru, menjadi modal untuk mengatasi tantangan pemerataan
kualitas pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar