Pesan Untuk Mendikbud Baru
Pemerintahan
baru Jokowi-JK dihadapkan pada kendala fiskal untuk memenuhi keinginan
mereka dalam memenuhi janji-janji kampanye. Kendala ini tak terlepas
dari beberapa pos anggaran yang memang sudah diplot, termasuk anggaran
20 persen APBN untuk pendidikan, sebagaimana amanat UUD 1945 hasil
amendemen.
Salah satu pos yang menyita anggaran
besar adalah dana untuk sertifikasi guru yang mencapai Rp 60,5 triliun
dalam APBN 2014, sebuah kenaikan fantastis 50 persen dari tahun
sebelumnya dan diperkirakan terus membengkak setiap tahunnya. Dana
sertifikasi yang dibagikan kepada guru pada setiap bulannya tersebut
setara dengan perbaikan 302.500 sekolah atau ratusan juta penyertaan
orang miskin dalam BPJS atau ribuan kilometer jalan baru. Ini salah satu
contoh dari investasi begitu besar yang akan sia-sia jika tanpa
pemikiran matang dan kerja efektif dalam mengawalnya.Alih-alih
melihat fantastisnya anggaran pendidikan, Anies Baswedan, sang Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru, menyatakan pendidikan
bukanlah investasi (detik.com/Oktober 28) saat ditanya apa target
kerja dalam 100 hari pertama. Walaupun ada kebenaran dalam
pernyataannya, hal ini justru berkebalikan dengan pemikiran Andy
Hargreaves dan Michael Fullan, dua pendidik terkemuka abad ini, yang
menulis buku Professional Capital (2013). Mereka mengajak kita semua berpikir bak seorang ekonom bahwa pendidikan adalah sebuah investasi.
Tapi, kedua pendidik ini mengingatkan bahwa ada dua arus besar dalam menyikapi pendidikan sebagai investasi, yaitu: business capital (permodalan berbasis bisnis) dan professional capital (permodalan berbasis profesionalisme).
Pada arus pemikiran pertama ini, para
pembuat kebijakan hanya melihat kepentingan jangka pendek dalam
merumuskan kebijakan pendidikan: sekadar mempekerjakan tenaga guru muda
yang mau digaji kecil, menggunakan teknologi sebanyak-banyaknya sehingga
kehadiran guru bisa diminimalkan, dan memberikan para guru rasa
ketakutan akan kehilangan pekerjaannya, agar mereka mau bekerja lebih
keras.
Arus pemikiran kedua adalah permodalan
berbasis profesionalisme yang bertujuan membangun sistem yang mampu
menghasilkan guru berkualitas dan berkomitmen untuk profesinya. Dalam
bahasa sehari-hari, tujuan yang ingin dicapai adalah teaching like a pro,
alias bukan amatiran. Laiknya seorang CEO perusahaan terkemuka,
Mendikbud baru harus mampu mengajak pemangku kepentingan yang lain untuk
berpikir bagaimana investasi yang luar biasa besar ini menguntungkan
dalam jangka panjang dan mampu menggerakkan kembali investasi baru.
Lebih jauh, Hargreaves dan Fullan menyatakan professional capital yang menjadi alat keberhasilan pendidikan terdiri atas tiga modal, yaitu human capital (modal manusia), social capital (modal sosial), dan decisional capital
(modal keputusan). Modal manusia menunjuk pada profesionalisme pribadi
para guru itu sendiri yang sudah terurai dengan bagus dalam UU Guru dan
Dosen.
Akan tetapi, pemerintah sebagai
regulator juga harus tegas dalam menentukan kelayakan kompetensi guru.
Pengalaman uji kompetensi awal (UKA), di mana pemerintah membatalkan
aturan bahwa UKA adalah syarat untuk sertifikasi guru setelah melihat
hasil yang mengecewakan, merupakan salah satu contoh bahwa guru tidak
dijaga mutu pribadinya.
Lebih daripada sekadar tugas
pemerintah, pihak yang pertama-tama harus menjaga marwah profesionalisme
guru adalah para guru sendiri. Para guru harus sadar bahwa mereka
adalah satu-satunya pekerja sosial yang mendapat keistimewaan tunjangan
sertifikasi.
Modal kedua adalah modal sosial
yang menunjuk pada kualitas dan kuantitas interaksi serta hubungan
sosial antarguru dan segenap pemangku kepentingan pendidikan. Selama ini
yang menonjol dari perjuangan organisasi guru adalah memperjuangkan
gaji dan status sebagai pegawai negeri semata. Mereka menutup mata
apakah para anggota yang diperjuangkan itu memang layak menjadi guru
profesional atau tidak.
Modal yang ketiga, decisional capital,
adalah kemampuan para guru untuk mampu membuat keputusan yang prima
dalam menjalankan profesinya dan tidak semata-mata berpedoman pada
tupoksi. Di sinilah para guru menyadari harkat-martabatnya sebagai
pendidik dan bukan sekadar pengajar.
Alangkah baiknya kalau dana
sertifikasi yang mereka terima juga disisihkan untuk membeli dan membaca
buku-buku bagus yang akan meningkatkan wawasan dalam mengajar. Lewat
refleksi yang terus-menerus, para guru akan semakin tajam dalam
menyikapi permasalahan di kelas dan di masyarakat.
Program sertifikasi guru sebagai salah
satu investasi pendidikan yang telah menelan biaya sangat fantastis
tidak dapat dibiarkan seakan-akan business goes as usual. Ini investasi besar yang harus dikawal sejak sekarang dengan road map yang harus jelas. Wacana professional capital
menunjukan pada kita semua bahwa investasi bidang pendidikan menuntut
kerja sama dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan di negeri
ini. Selamat bekerja, Mas Anies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar