Menunggu Gebrakan Pendidikan
Setelah
menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang
kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan.
Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.
Revolusi mental yang digagas Presiden
Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan
sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang
sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan
tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus
mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh
mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?
Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan
nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi
Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang
digagas Presiden Jokowi.
Persoalan pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada
lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan
pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum
2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam
pendidikan, dan korupsi pendidikan.
Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.
Ujian nasional
Ujian nasional (UN) jelas sebuah
kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla
sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari
sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak
meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk
dilanjutkan.
Masalahnya adalah kita sering
mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih
pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai
penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk
kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani
mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional
sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum
menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk
sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.
Untuk proses seleksi ke perguruan
tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan
sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka
bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber
manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur
mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang
disabilitas.
Kurikulum 2013
Banyak kajian tentang Kurikulum 2013
menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana
solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan
dibiarkan sia-sia?
Pilihan politis atas hal ini tidak
mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin
mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah
program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara.
Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.
Solusi praktisnya adalah kembali saja
dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies
hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum
2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan
yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem
penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan
pelatihan guru diteruskan.
Lunturnya nilai-nilai keragaman dan
kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang
mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama
mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya
ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.
Di Jakarta, ada siswa dari kelompok
agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan
sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok
radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak
sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.
Situasi ini semakin menjadi-jadi
dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah.
Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan
paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah
disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi
pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi
adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.
Matinya kemampuan berpikir kritis akan
membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan,
bahkan atas nama agama.
Lunturnya nilai-nilai keragaman ini
hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam
Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang
diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan
daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Di antaranya fokus pada pengembangan
keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu
diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari
Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila.
Lunturnya keragaman ini, apabila tak
diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh
dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris
yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.
Kekerasan
Kekerasan dalam pendidikan sudah
berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan
sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying)
dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak
pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa
sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.
Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas
melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya
dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu
hilang dicuri para koruptor.
Laporan ICW tentang korupsi pendidikan
selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1
triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan
pendidikan kita.
Sekedar gambaran, Dinas Pendidikan
DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI,
akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai
program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah
diselidiki, pada beberapa sekolah swasta di Jakarta indikasi korupsi itu
sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya
ratusan juta sampai miliaran rupiah.
Dana pendidikan memang paling menarik
bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak
sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti
ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur
dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan
kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang
korup seperti ini.
Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak
mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya
sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu
yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan
perubahan dalam pendidikan.
Jika ia lebih memilih dirinya sebagai
politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah
Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.
Namun, apabila pertimbangan Presiden
Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral,
dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar
dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar
Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera
melakukan gebrakan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar