“I
am a teacher who favors the permanent struggle against every form of
bigotry and against the economic domination of individuals and social
classes.I am a teacher who rejects the present system of capitalism,
responsible for the aberration of misery in the midst of plenty. I am a
teacher full of the spirit of hope, in spite of all the signs to the
contrary.“(Paulo Freire: Pedagogy of Freedom, 1998)
KUTIPAN dari Freire di atas seolah
mene gaskan posisi guru itu teramat penting secara spiritual, tidak
hanya terbatas pada ruang kelas.Guru dalam pandangan Freire harus
memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap tatanan sosial sehingga dia
bisa membebaskan para siswanya dari pandangan yang sempit dan gelap.
Kata guru juga seolah ingin menegaskan arti sesungguhnya tentang
keteladanan dan keikhlasan, sesuatu yang sangat sumir dan hampir tak
terlihat dari perilaku para tokoh bangsa akhir-akhir ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
guru memang diartikan dengan beragam makna, dari yang sempit hingga
luas.Secara sempit, guru ialah seseorang yang berprofesi mengajar. Jika
mengajar dimaknai secara luas, makna `guru’ juga dapat disimpulkan
memiliki arti seseorang atau sesuatu yang dijadikan pedoman. Tampaknya
`guru bangsa’ mengacu kepada makna tersebut, yaitu seseorang yang bisa
dijadikan pedoman atau teladan dalam hidup berbangsa. Pertanyaannya,
siapa sosok yang patut kita jadikan guru bangsa saat ini jika kita tak
menemukan keteladanan di dalamnya?
Para penguasa bangsa hari ini ialah
para politikus yang berasal dari beragam partai politik yang jauh dari
menunjukkan keteladanan dalam kehidupan berbangsa. Mereka seolah tak
memiliki padanan moral ketika secara kasatmata rela mempertontonkan
kerasukan dalam mengejar kekuasaan. Jelas sekali para siswa kita sedang
memperoleh keteladanan yang buruk dari para politikus tentang makna
kekuasaan yang mengedepankan nilai-nilai keserakahan dan dendam.
Jika kita masih memercayai makna guru
sebagai sesuatu yang sangat mulia, kebutuhan untuk menemukan sosok guru
bangsa ialah imperatif. Guru bangsa yang kita maksudkan tentunya tak
terlepas dari makna yang mulia, yaitu yang mampu memberi teladan pada
kebaikan akan hajat hidup orang banyak. Guru bangsa yang kita idamkan
hari ini ialah orang dengan kemampuan spiritual luar biasa yang dapat
memberikan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan mengantarkan orang
lain menuju kesuksesan secara duniawi dan ukhrowi.
Sulitnya menemukan guru bangsa juga
berkorelasi positif terhadap proses pendidikan yang sudah kita lalui
selama lebih kurang empat dekade. Saya curiga jangan-jangan tujuan
pendidikan kita selama ini menjadi salah satu alasan sulitnya menemukan
orang yang memiliki jiwa keteladanan yang luar biasa. Jika kita survei
secara kasar, hampir setiap siswa yang ditanya soal kesuksesan selalu
mengatakan hal-hal yang bersifat kebendaan. Hal itu tak aneh karena
sistem pendidikan di negara kita terlalu berorientasi kepada hasil yang
bersifat fisik. Ijazah atau kelulusan, kesempatan dalam bekerja,
memperoleh kedudukan, ialah di antara fakta-fakta yang ada di sebagian
besar kepala siswa kita.
Pendidikan yang berorientasi pada
hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan manusia-manusia yang
pasif dan kering secara spiritual. Mereka bisa memperoleh kesuksesan,
tetapi sangat boleh jadi tak memperoleh kebahagiaan secara hakiki.
Kebahagiaan hakiki hanya akan diperoleh setiap anak jika proses
belajarmengajar dimaknai dan dijalankan sebagai eksplorasi atas
nilai-nilai kehidupan yang mulia.
Dengan mengikuti logika Maslow,
pendidikan yang berorientasi kepada hasil sesungguhnya hanya akan
memperoleh kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk
memperoleh kasih sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan
ini. Penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh
dengan memberikan siswa sebanyak mungkin pengalaman berinteraksi secara
langsung kepada lingkungan sosial tempat mereka berada.
Menurut teori fisiologi, semua
tindakan manusia itu berasal dari usaha yang memenuhi kepuasan dan
kebutuhan organik atau kebutuhan fisik semata. Padahal, kebutuhan siswa
tak hanya soal materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan
rasa yang sangat bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu
menekankan perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini.
Orientasi kepada hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga
mati dan selalu tak berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi
siswa. Akibatnya anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak
seimbang, dan itu menyebabkan perilaku aneh dan menyimpang kerap kita
temukan di kalangan anakanak sekolah, seperti kasus kekerasan.
Ketidakseimbangan
Proses pendidikan yang tak seimbang
antara pikir dan rasa inilah salah satu ujung petaka kemanusiaan di
Indonesia.Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat
Indonesia hidup hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya
penyimpangan perilaku tak berke adaban seperti tawuran, dan yang lebih
parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.
Jelas sistem pendidikan kita memerlukan road-map
baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling
menghargai. Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan
kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan
psikomotorik. Dalam praktiknya, antara mata ajar sains, sosial sains,
humaniora, dan seni-budaya harus proporsional diajarkan, baik dari aspek
durasi maupun substansi. Kurangnya mata ajar humaniora dan seni-budaya
di sekolah, menurut beberapa temuan riset, rentan menjadikan anakanak
berperilaku menyimpang di tengah masyarakat.
Profesor Antonio Damasio (2006)
menyebutkan hari ini pada sistem pendidikan hampir di seluruh belahan
dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran
yang berorientasi kognitif dan emosional. Penyelaman empati dan rasa
tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga
anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim
rasa. Dalam pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan
seni-budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam
rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan
spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan
substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa inilah yang salah
satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.
Menyeimbangkan pikir dan rasa dalam
praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai satu dengan yang lain,
dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat
Indonesia.
Hans-Peter Becker dalam Unleash the Secret of Education and Learn How to Raise a Happy Child
(2012) menemukan hal menarik bagaimana kita dapat menuntut anak meraih
kesuksesan secara seimbang, baik kebutuhan jasmani maupun rohani.
Caranya, biarkan anak belajar sambil mendengarkan musik atau jadikan
aktivitas menyanyi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses
belajar-mengajar yang terjadi setiap hari, baik di ruang kelas, sekolah,
rumah, atau di mana saja ketika anak ingin belajar.Kombinasi pikir dan
rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar