‘Manusia itu tidak akan menjadi manusia yang hakiki, kecuali dengan pendidikan.” Itulah kata Muhammad Abduh.
Tidak ada yang memungkiri bahwa
pendidikan itu penting untuk membentuk manusia, termasuk di Indonesia
ini. Masalahnya, dari tahun ke tahun, produk yang dihasilkan oleh
pendidikan Indonesia, masih perlu dipertanyakan. Anda tentu masih ingat
dengan kasus bully yang terjadi di sekolah dasar di Sumatera Barat.
Anda tentu tidak akan lupa dengan tawuran-tawuran yang dilakukan oleh
para pelajar di Jakarta dan berbagai daerah lainnya.
Kemudian, Anda juga mungkin pernah
menyaksikan sebuah photo yang beredar luas di dunia maya, dimana guru
sedang mengajar di depan kelas (sepertinya setingkat SMA), kemudian
para muridnya asyik dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang
tiduran, ada yang main smartphone, dan ada yang leyeh-leyeh, tanpa
memperhatikan sama sekali penyampaian gurunya.
Dan belum lama ini, tersebar berita
di dunia maya di berbagai media online tentang beberapa anak
perempuan berjilbab yang pesta miras dan merokok di dalam angkot, yang
di bagian belakang angle photonya ada tulisan tauhid (laa ilaha illallah). Jikalau diruntut lebih jauh, tentu masalah dan kasus produk pendidikan Indonesia ini, lebih banyak lagi.
Pendidikan yang berjalan di negeri ini
belum mampu membuat anak-anaknya menjadi manusia dalam artian yang
sebenarnya, yang mengenal ilmu dengan baik namun dengan etika yang
tinggi. Malahan, semakin “bergengsi” nama kurikulum yang diajarkan,
anak-anaknya semakin kehilangan etikanya.
Guru yang dalam kesehariannya dikenal
dengan pahlawan tanpa tanda jasa, tidak lagi mendapatkan penghormatan
selayaknya dari para muridnya. Bahkan, kerapkali diremehkan dan
diacuhkannya, layaknya pembantu yang dibayar tiap bulannya oleh
majikannya. Mereka tidak lagi memposisikan guru itu sebagai insan yang
mulia, yang layak mendapatkan segala bentuk penghormatan karena ilmu
yang dimilikinya.
Jikalau diflash back ke zaman dahulu,
ditengah keterbatasan sarana-sarana pendidikan, orang-orang tetap
memposisikan guru dengan posisi yang terhormat. Jikalau bertemu, disapa.
Jikalau sakit, dibezuk. Bahkan, jikalau ia marah, maka para murid akan
menerimanya dan tidak berani membantahnya.
Sekarang, justru sebaliknya, jikalau
seorang murid bertemu dengan gurunya di jalan, maka ia mengabaikannya
saja seolah-olah tidak kenal. Bahkan, tidak ada lagi rasa segan kepada
gurunya. Jikalau ada rokok, maka ia akan mengeluarkannya dan sengaja
menyalakannya di hadapan kedua mata gurunya. Jikalau anak ini
dinasehati atau diberikan sedikit “pelajaran”, maka Hak Azazi Manusia
(HAM) akan lansung dijadikan tameng.
Membentuk Manusia Indonesia Beretika
Kata Muhammad Quthb, pendidikan adalah
Fann Tasykil al-Insan (seni membentuk manusia). Yah, ia adalah seni
bagaimana membentuk manusia yang baik dan beretika, berilmu namun
beradab.
Dalam konteks ke Indonesiaan, gagalnya pendidikan etika ini, saya rasa bisa dilihat dilihat dari dua sisi:
Pertama, Pengajarnya. Saya tidak
meragui ada guru yang ikhlas mendidik anak-anaknya, dan kenyataannya
guru seperti inilah yang berhasil membuat anak muridnya menjadi sosok
yang sukses di masa depan. Namun, ada juga guru yang mengajar itu hanya
untuk mengejar materi belaka. Baginya, yang penting pelajaran
tersampaikan, diterima atau tidak diserahkan kepada para muridnya.
Tidak ada ketulusan agar para muridnya menjadi manusia yang sukses dan beretika. Ia hanya mentransfer ilmu (Transfer of Knowledge) namun tidak mentransfer etika dan kepribadian (transfer of personality).
Kesejahteraan guru itu penting, dan
ini adalah tugas pemerintah untuk memperhatikannya. Namun, jangan
sampai masalah ini merusak ketulusan seorang guru menjalankan
kewajibannya kepada para muridnya.
Kedua, Lingkungan. Kata Ibn Khaldun,
“ar-Rajulu Ibn Biatihi (seseorang itu anak lingkungannya). Lingkungan
yang didiami oleh seorang anak harus diperhatikan dengan baik. Anak yang
tumbuh dalam lingkungan yang tidak beretika, walaupun gurunya sudah
bercapek-lelah mengajarkan etika, maka ia tidak akan mampu beretika
dengan baik. Namun, jikalau lingkungannya baik, walaupun gurunya tidak
begitu baik mengajarkan etika, maka ia tetap akan tampil dengan etika
yang mulia.
Media juga harus diperhatikan. Di
zaman yang serba canggih ini, berbagai tontonan dan video tidak layak,
banyak ditonton oleh anak-anak yang belum layak untuk menontonnya.
Tayangan-tayangan itu bukannya mendidik para penontonnya menjadi sosok
yang lebih baik, baik dari segi ilmu maupun dari segi etika, malah
membuatnya semakin buruk.
Jikalau Anda menghidupkan televisi,
kemudian Anda mendapati tayangan kekerasan dan sejenisnya yang tidak
layak ditonton, maka matikan saja. Anda tidak usah menontonnya.
Jangan merusak pikiran keluarga Anda dan anak-anak Anda dengan
tontonan seperti itu.
Inilah yang harus direnungkan dalam
kehidupan berbangsa. Generasi muda harus diselamatkan. Mereka adalah
asset masa depan bangsa. Jikalau mereka tumbuh dengan keadaan yang
tidak mengenal etika, maka lama-kelamaan bangsa ini akan berubah menjadi
bangsa yang “bejat”. Ya, bangsa yang “bejat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar