Setelah menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist,
Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah
menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat
kecewa.
Presiden cum pemimpin baru
Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan
”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja,
melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.
Padahal, dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya
bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem
nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional
itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di
Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.Semua
lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan
aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan bermental
perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu
sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan.
Bagian dari sistem nilai yang dihayati oleh manusia. Pendidikan bertugas
mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada
nilai.
Satu menteri
Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang
dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah, sedangkan sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke
Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini sungguh
merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak
terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah diingatkan oleh
Aristoteles.
Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.
Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi tidak dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana
dengan ”nasib” Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta
Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa dan Desain dari ITB, yang notabene
membelajarkan teknologi? Bukankah semua lembaga pendidikan yang disebut
tadi tergolong pada perguruan tinggi? Apakah akan dimatikan begitu saja?
Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk” ke mana? Masak urusannya akan
diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah,
yang masih ”berbudaya”.
Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan ”ilmuwan” (man of science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. ”It is not the business of science to inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and belief and science will perish together.”
Sementara yang konsen pada moral dan
moralitas adalah budaya, sebagai salah satu nilai yang terus-menerus
menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu bangsa
diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi bisa mencapai peradaban.
Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan,
dan keindahan.
Ini bukan berarti bahwa riset tidak
perlu. Kita menghadapi masa depan dengan suatu senjata yang tidak
dikenal oleh penguasa negeri puluhan tahun yang lalu. Senjata ini berupa
pengetahuan ilmiah dan kapasitas menyempurnakannya tanpa batas melalui
riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai Indonesia dewasa ini, hal ini
dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga formal, yaitu Kemendikbud.
Kementerian ini membawahi kegiatan
pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan
pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih
diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada Kementerian Riset
tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah
berjalan. Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga
riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas. Sambil lalu
perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan
lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?
Segera koreksi
Ide pemecahan Kemendikbud ini konon
datang dari Forum Rektor Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh
disayangkan. Ternyata para rektor ini tidak menyadari ide humanitarian
yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini mereka pimpin.
Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”, tetapi bukan pendidik in spite of
kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata-mata sebagai
suatu profesi teknis, bukan vokasi (suatu panggilan nurani). Mereka
sungguh tega mempermainkan pendidikan.
Maka, ada baiknya para rektor dan
dekan membaca tulisan yang penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta
Lesmana berjudul Jangan Pecah Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi
kuliah di beberapa universitas/perguruan tinggi dan pernah ikut riset di
LPPM yang ketika itu dipimpin seorang teknikus picik. Berdasarkan
pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat, penggabungan perguruan
tinggi ke riset dan teknologi mengandung dua kesalahan berpikir yang
fatal.
Pertama, riset tidak mesti selalu
diarahkan ke kebutuhan pasar dan industri. Keharusan riset seperti ini
adalah pandangan Marxis yang serba materialistis dan kurang memandang
manusia sebagai ”thinking thing”, sebagaimana dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.
Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian materialistis, melainkan karena karya-karya besar dari ”the thinking thing”,
berupa hasil penelitian sosial, terutama penelitian filosofi. Budaya
Indonesia ”rusak” karena negara kita kekurangan ahli pikir. Sementara
nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita hati, salah pikir
binasa diri”.
Masih menurut Pak Tjipta,
teknolog-pemimpin riset cenderung melupakan nama-nama besar, seperti
John Lock, John Milton, Mintesquieu, Rousseau, James Madison, dan Paine
Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di zaman Yunani Kuno: Socrates,
Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar namanya di manca dunia
karena kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang hayatnya.
Kesalahan pemikiran fatal kedua dari
penguasa Indonesia kini adalah memecah kesatuan pendidikan dasar,
menengah dan tinggi, dengan alasan yang sama seperti yang telah saya
ajukan di atas.
Ada dikatakan bahwa pemecahan
Kemendikbud setelah dilakukan perbandingan dengan keadaan pendidikan di
luar negeri. Jangan sekali-kali membuat perbandingan dua kondisi yang
tidak setara. Bandingkan kondisi kita dengan kondisi negeri maju ketika
dahulu masih tertinggal seperti kita sekarang.
Di Perancis, misalnya, guru sekolah
menengah (sudah) disebut professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru
yang bernama Ecole Normale. Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa
hingga tanpa menteri atau kementerian apa pun di atasnya, proses
pendidikan tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Mereka inilah
pelaksana sejati dari sistem pendidikan nasional bangsanya. Mereka sadar
bahwa le gouvernement passe, les professeurs restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat.
Di Indonesia belum terbentuk ketegasan profesionalisme di kalangan
korps guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang
pendidikan.
Wahai Presiden dan Wakil Presiden,
sebelum terlambat, masih ada kesempatan emas untuk mengoreksi kekeliruan
kebijakan mumpung nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikanlah
keutuhan Kemendikbud, jangan main-main dengan pendidikan dan kebudayaan.
Pikirkan baik-baik. Nenek moyang kita telah berpepatah: ”pikir itu
pelita hati, salah pikir binasa diri”. Sementara itu, kaum intelektual
dan para orangtua murid yang terdidik hendaknya tidak bersikap indifferent. Masa depan anak-anak Anda yang menjadi taruhan dan para masa depan mereka tergantung dari masa depan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar