Kurikulum
2013 atau K13 resmi diberlakukan di semua sekolah sejak Juli 2014. Buku
ajar versi elektronik (buku sekolah elektronik/BSE) juga sudah dapat
diunduh melalui link Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski
pemerintah mengklaim K13 berbeda dengan KTSP 2006, secara sosiologis
substansi BSE tidak mengalami perubahan, BSE K13 masih mengandung bias
kelas.
Mungkin tak banyak yang memedulikan
masalah analisis kelas dalam setiap buku ajar yang didistribusikan ke
sekolah-sekolah. Terkait ulasan dalam buku saya, Kekerasan Simbolik di
Sekolah(2012), sebagian besar BSE yang diterbitkan oleh Kemdikbud
mengandung unsur kekerasan simbolik, termasuk BSE K13 ini.Adalah
Pierre Bourdieu (1930-2002), seorang sosiolog Perancis yang berupaya
menguatkan argumen para pendahulunya mengenai fungsi sosial sekolah.
Bagi Bourdieu, sekolah pada dasarnya merupakan tempat bagi kelas dominan
atau kelas atas untuk melanggengkan posisinya. Kelas atas dalam hal ini
telah menggunakan sekolah sebagai sarana melakukan kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik di sekolah terjadi
ketika individu dari kelas bawah dipaksa mengikuti gaya hidup kelas
atas. Mekanisme ini dilakukan misalnya melalui kegiatan di sekolah serta
melalui materi pelajaran di kelas yang berlangsung tanpa disadari.
Bagi Bourdieu, dalam praktiknya
sekolah hanya mengajarkan banyak gaya hidup atau habitus kelas atas,
sementara siswa dari kelas bawah dipaksa mengikuti habitus mereka.
Parahnya, hal ini telah dianggap
sebagai hal biasa di sekolah. Habitus kelas bawah hanya diberi porsi
sangat sedikit dalam budaya dan nilai-nilai sosial di sekolah,
seolah-olah budaya kelas bawah tidak layak disosialisasikan dan menjadi
gaya hidup di sekolah.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan sebagai sarana melakukan kekerasan simbolik adalah melalui materi pelajaran dalam BSE.
Hasil penelitian penulis dalam BSE
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ditemukan data bahwa
sebagian besar gaya hidup dan kondisi sosial yang ditampilkan dalam BSE
adalah gaya hidup kelas atas. Ada dua mekanisme kekerasan simbolik ini,
yaitu melalui teks atau tulisan dan melalui gambar.
Kekerasan simbolik melalui tulisan
dapat dijumpai dalam beberapa bentuk, misalnya: mengenalkan budaya
rekreasi untuk mengisi hari libur melalui beberapa tulisan atau cerita;
menceritakan aktivitas ulang tahun; menggambarkan bentuk atau kondisi
rumah orang-orang kaya yang dilengkapi teras, garasi mobil, ruang kerja
ayah, dan sebagainya.
Sementara kondisi sosial keluarga
miskin kelas bawah diceritakan dalam sedikit paragraf dengan menggunakan
sudut pandang orang ketiga. Ini artinya, posisi siswa yang membaca BSE
diposisikan sebagai siswa kelas atas, sedangkan siswa kelas bawah hanya
menjadi obyek yang diceritakan.
Gambar-gambar ilustrasi juga
menghadirkan banyak kondisi orang-orang kaya. Aksesori rumah orang-orang
kaya (garasi, akuarium, kulkas, dan mobil) menghiasi banyak gambar
dalam BSE KTSP.
Suasana pesta ulang tahun juga
menghiasi halaman-halaman dalam BSE, seolah-olah ritual ulang tahun
menjadi ritual wajib bagi anak-anak kita.
BSE K13
Ketika KTSP dihapus dan digantikan
dengan K13, keberadaan kekerasan simbolik ini ternyata tidak terhapus
begitu saja. Ini menjadi fenomena yang masih mewarnai banyak BSE K13.
Perbedaannya hanya pada masalah metode
penyampaian yang menggunakan pendekatan tematik, tetapi kekerasan
simbolik masih mengalir jelas dalam BSE K13. Apabila ini realitasnya,
sebenarnya K13 diciptakan untuk siapa?
Bahkan, dalam beberapa BSE dijumpai
iklan terselubung yang secara jelas menyebutkan serta menampilkan merek
produk dan program acara televisi tertentu. BSE yang seharusnya netral
justru disusupi kepentingan para kapitalis.
Apabila K13 diklaim sebagai kurikulum
yang mengedepankan aspek pendidikan nilai atau pendidikan karakter,
pertanyaannya selanjutnya, karakter seperti apa yang ingin ditawarkan
K13?
Beberapa BSE juga mengandung bias
agama tertentu. Ini tecermin dalam gambar model yang mengenakan jilbab,
serta dijumpai dalam teks yang menunjuk pada aktivitas agama tertentu
(shalat).
Hal ini bukanlah masalah, tetapi ini
akan menjadi masalah manakala tidak disampaikan secara proporsional.
Mengapa hanya atribut Muslim yang ditampilkan secara jelas, sementara
atribut orang Nasrani, Hindu, atau Buddha tidak tampak?
Ada baiknya BSE harus dikaji secara
sosiologis. Analisis kelas dalam penyampaian materi atau bahan ajar di
sekolah harus mendapat perhatian agar materi belajar tidak mengandung
bias kelas yang menyudutkan atau mengeliminasi kelas sosial tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar